Partisipasi
Politik Mahasiswa Ditinjau Dari Kepercayaan Politik dan Kepuasan Demokrasi
Hasbi Wahyudi
Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan dari kepercayaan politik dan
kepuasan demokrasi terhadap tingkat partisipasi politik mahasiswa di
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Universitas Riau dan
Universitas Islam Riau. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 307 orang. Dalam mengumpulkan data menggunakan metode survey dengan
kuesioner tentang kepercayaan politik, kepuasan demokrasi serta partisipasi
politik nasional dan kampus. Dalam hasil analisis data diperoleh Rxy=
0.316, F= 16.820 dan p= 0.000. Dengan
demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima, bahwasanya ada
hubungan yang positif antara kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi
terhadap tingkat partisipasi politik mahasiswa. Artinya, semakin tinggi
kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi, maka semakin tinggi tingkat partisipasi politik mahasiswa, begitu juga
sebaliknya jika semakin rendah kepecayaan politik dan kepuasan demokrasi, maka
semakin rendah tingkat partisipasi politik mahasiswa.
Kata
Kunci: Partisipasi Politik, Kepercayaan Politik, Kepuasan Demokrasi
Pendahuluan
Partisipasi merupakan aspek penting dari demokrasi (Damsar, 2010). Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara, tetapi dalam kenyataan persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik.
Pada negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari
konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh
rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi
politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dinegara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan
sifat kepemimpinan
politiknya ditentukan oleh
segolongan elit penguasa, maka partisipasi warganegara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara relatif sangat rendah. Sementara itu dinegara
yang proses modernisasi politiknya telah berjalan baik, maka tingkat partisipasi politik warga
negara cenderung meningkat.
Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warganegara dalam berbagai
proses politik. Keikutsertaan
warga
dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang
telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah
mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan
kebijakan, mulai dari sejak pembuatan
keputusan sampai dengan
penilaian
keputusan,
termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Pada
Negara berkembang seperti Indonesia, saat ini
penggunaan kata partisipasi politik lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan
keputusan yang sudah
dibuat oleh
para pemimpin
politik dan pemerintahan.
Menurut Sanit (1985)
anggota masyarakat perlu mengambil bagian
atau berpartisipasi di
dalam proses
perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan, dengan kata lain setiap warga negara
tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan
semestinya terlibat dalam proses pembangunan terutama di bidang politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi
melalui sistem politik yang terbangun.
Pemilihan umum
2009 merupakan pemilu ketiga setelah
reformasi bergulir, dan berkembang banyak wacana seputar pelaksanaannya. Pembicaraan, perdebatan dan diskusi
banyak
ditemukan
di
tengah-tengah masyarakat yang mengupas masalah-masalah
pemilu,
partai
politik, electoral threshold
serta tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu yang semakin menurun, dimana partisipasi
masyarakat pada Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama seusai reformasi bahkan
mencapai angka 93%. Setelah itu, pada pemilu 2004 turun menjadi 84% dan pemilu
tahun 2009 menurun lagi menjadi 71%. Hal ini dikarenakan semakin turunnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan anggapan masyarakat
mengenai nilai-nilai demokrasi yang melahirkan berbagai konflik ditengah
masyarakat (hasil survey Centre for strategic and International Studies (CSIS),
2012). Selain hal itu, tidak ketinggalan juga partisipasi politik mahasiswa dalam kehidupan berbangsa yang dalam hal ini dimanifestasikan dalam lembaga-
lembaga kemahasiswaan juga menjadi pembicaraan,
perdebatan dan diskusi ditengah masyarakat.
Lembaga
kemahasiswaan
adalah
wadah
pelaksanaan kegiatan mahasiswa di kampus. Lembaga
kemahasiswaan merupakan
salah satu elemen yang sangat
penting dalam proses pendidikan
di suatu perguruan tinggi. Keberadaan
lembaga kemahasiswaan merupakan
wahana dan
sarana pengembangan
diri
mahasiswa
kearah perluasan wawasan,
peningkatan kecendekiawan, integritas
kepribadian, menanamkan sikap ilmiah, dan
pemahaman tentang arah profesi
dan sekaligus
meningkatkan kerjasama
serta
menumbuhkan rasa
persatuan dan
kesatuan.
Lebih
dari
itu,
peran
mahasiswa melalui
lembaga kemahasiswaan tidak hanya terbatas dalam bidang akademik atau profesionalitas keilmuan saja.
Mahasiswa
melalui lembaga
kemahasiswaan juga
berperan
sebagai agen
perubahan
sekaligus control
social atas penyelenggaraan
pemerintahan bermasyarakat dan
bernegara.
Dengan kata
lain,
mahasiswa melalui
lembaga kemahasiswaan baik intra maupun
ekstra
kampus
merupakan
kekuatan
politik tersendiri yang selalu diperhitungkan
dalam sejarah kehidupan masyarakat
bernegara.
Namun demikian, orientasi perjuangan dan
dinamisasi
kehidupan
lembaga kemahasiswaan hendaknya tetap
pada netralitas
lembaga yang
sangat menjunjung tinggi moralitas
akademis. Hal
ini sebagaimana dijelaskan dalam
surat edaran Dirjen
Dikti
tahun
2002
bahwa
system penyelenggaraan kegiatan kelembagaan mahasiswa tidak boleh
menjadi perpanjangan
tangan (underbow) dari kekuatan
partai
politik tertentu
dan netral terhadap suku, ras,
agama dan aliran kepercayaan.
Sadar
atau tidak, fenomena tarik menarik
kepentingan
politik telah
menjadi
bagian dari kehidupan lembaga kemahasiswaan intra
kampus
saat ini. Dari fenomena inilah perlu
dikemukakan pertanyaan, bagaimana sesungguhnya partisipasi
politik mahasiswa? Atas dasar fenomena inilah peneliti kemudian tertarik
melihat Partisipasi Politik Mahasiswa Ditinjau Dari Kepercayaan Politik dan
Kepuasan Demokrasi.
Tinjauan Teori
Politik
secara etimologis
berasal dari kata
polis yang artinya
negara kota. Istilah
politik itu
sendiri dapat
diartikan: (a)
ilmu
atau
segala sesuatu
siasat atau kebijakan yang
menyangkut
urusan kenegaraan, (b) kebijaksanaan, (c)
siasat dan upaya
atau perjuangan
untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan (Aka
Kamarulzaman, 2005).
Menurut
Miriam
Budiarjo (2008)
politik adalah
bermacam-macam
kegiatan
dalam
suatu
system (sosial) yang
menyangkut proses
menentukan dan
melaksanakan tujuan.
Partisipasi Politik
Konseptualisasi Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan masalah yang cukup rumit di negara berkembang. Partisipasi
menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis
kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Memahami partisipasi
politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Keputusan
politik yang dibuat dan dilaksanakan
oleh pemerintah menyangkut
dan mempengaruhi kehidupan
warga
masyarakat,
maka
warga
masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.
Para ilmuwan
dan pakar politik telah banyak memberi batasan lebih mengenai partisipasi politik. Menurut Huntington dan Nelson, partisipasi
politik adalah kegiatan warga
negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan pemerintah (Samuel P. Huntington dan Joan Nelson,
1994). Dalam konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi
politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington
dan Nelson, disebabkan oleh sejumlah alasan. Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam
realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem
politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa
partisipasi
politik yang bersifat dimobilisasi
karena faktor
internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom (Kamaruddin,
Partai PoLitik Islam di
Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004, 2003). Sebaliknya juga
demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi
tersebut mempunyai konsekuensi
penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan tekanan
terhadap pimpinan-pimpinan politik.
Di
samping konseptualisasi dari partisipasi politik di atas, Lane (dalam Rush dan
Althoff,
2000) menyatakan bahwa Partisipasi politik juga memiliki empat fungsi, yaitu:
1.
Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis,
2.
Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial,
3. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus,
4.
Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan bawah sadar dan psikologis tertentu.
Samuel
P Huntington
dan Joan
Nelson
membagi bentuk-bentuk partisipasi politik
menjadi:
1.
Kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencaridana partai,
menjadi tim sukses, mencari
dukungan bagi
calon
legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu.
2. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan
maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.
3. Kegiatan
organisasi,
yaitu
partsipasi
individu
ke
dalam organisasi, baik
selaku
anggota maupun pemimpinnya,
guna
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah.
4. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka.
5. Tindakan kekerasan
(violence), yaitu tindakan
individu
atau kelompok
untuk
mempengauhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk disini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembunuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson di
atas, telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Oleh sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik
masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson
relatif lengkap.
Tipologi Partisipasi Politik
Surbakti mengkategorikan
kegiatan
partisipasi politik dengan sejumlah kriteria rambu-rambu yang menjadi konseptualisasi dari partisipasi politik itu sendiri. Pertama,
partisipasi politik
yang dimaksudkan
berupa
kegiatan atau
perilaku
luar
individu
warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal
ini
perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi
individu tidak selalu termanifestasikan dalam
perilakunya. Kedua, kegiatan ini diarahkan untuk mempengaruhi
pemerintah selaku pembuat dan pelaksanaan keputusan politik
(Ramlan, 1990).
Partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi
partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang termasuk dalam kategori
partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan
untuk meluruskan
kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan yang menaati pemerintah, menerima, dan
melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.
Dengan kata lain, partisipasi aktif berarti kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output politik, sedangkan partisipasi pasif merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses output. Di samping itu, terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori
partisipasi aktif maupun partisipasi pasif karena mereka menganggap
masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut dengan apatis
atau golongan putih.
Menurut Olsen
(dalam Ramlan, 1990) partisipasi dapat dipandang sebagai
dimensi utama stratifikasi sosial. Olsen membagi partisipasi politik menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivis politik,
komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik
lainnya kepada
orang lain), warga
negara, marginal
(orang yang sangat sedikit melakukan
kontak dengan sistem politik), dan orang yang terisolasikan (orang yang jarang melakukan
partisipasi politik).
Perspektif lainnya, Roth
dan
Wilson (Budiarjo, 1981) menguraikan bentuk partisipasi politik warga negara berdasarkan intensitasnya. Intensitas terendah
adalah sebagai pengamat, intensitas menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas partisipasi tertinggi sebagai aktivis.
Bila dijenjangkan, intensitas kegiatan
politik warga negara tersebut membentuk segitiga serupa dengan warga negara. Karena seperti piramida, bagian mayoritas partispasi politik warga negara terletak di
bawah. Ini berarti intensitas partisipasi politik warga negara kebanyakan berada pada jenjang pengamat. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya melakukan
kegiatan
politik seperti: menghadiri rapat umum, menjadi anggota
partai atau kelompok
kepentingan,
membicarakan masalah
politik mengikuti
perkembangan politik melalui media massa, dan memberikan suara dalam pemilu.
Setingkat
lebih maju
dari
kelompok pengamat yang
terletak di
tengah-tengah piramida partisipasi politik ialah kelompok partisipan. Pada jenjang partisipan ini aktivitas
partisipasi politik yang sering dilakukan adalah menjadi petugas kampanye, menjadi anggota aktif dari partai
atau kelompok kepentingan, dan aktif dalam proyek-proyek sosial. Kelompok terakhir yang terletak di bagian paling atas dari piramida partisipasi politik adalah kelompok aktivis. Warga yang termasuk dalam kategori aktivis sedikit jumlahnya.
Kegiatan politik pada jenjang aktivis ini adalah seperti menjadi pejabat partai sepenuh waktu,
pemimpin partai atau kelompok kepentingan. Di samping itu, ada juga warga yang tidak termasuk dalam piramida ini, mereka adalah kelompok warga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak melakukan kegiatan politik. Mereka ini oleh Roth dan Wilson disebut sebagai orang yang apolitis.
Kepercayaan Politik
Kepercayaan politik
menyangkut pandangan orang mengenai hal-hal yang dihasilkan oleh sebuah sistem
seperti politisi, sistem politik dan institusi-institusi. Dengan kata lain,
kepercayaan politik tidak hanya berhenti pada rasa percaya terhadap pemerintah,
namun juga terhadap elemen-elemen yang melekat padanya.
Gamson (dalam Kim dkk., 2002) menjelaskan bahwa didalam
kepercayaan politik terdapat suatu keyakinan bahwa pemerintah bertindak sesuai
dengan kepentingan individu atau publik. Menurut Pennock (dalam Robinson, dkk.,
1999), apabila terdapat diskrepansi antara harapan-harapan masyarakat dan
kenyataan yang ada, kepercayaan politik akan rendah dan hal ini berpengaruh
pada efektivitas, kontinuitas dan moralitas sistem sosial.
Komitmen terhadap
Nilai-nilai Demokrasi
Kehidupan demokrasi tidak akan datang, melainkan
tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, harus ada keyakinan yang luas
dimasyarakat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik
dibandingkan dengan sistem lain. Untuk menumbuhkan keyakinan dalam demokrasi,
maka harus ada pola perilaku yang terjadi tuntunan atau nilai – nilai demokrasi
yang diyakini masyarakat. Nilai – nilai dari demokrasi membutuhkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Kesadaran akan pluralisme
b. Sikap jujur dan pikiran yang sehat
c. Demokrasi membutuhkan kerjasama antar
warga masyarakat
d. Demokrasi membutuhkan sikap kedewasaan
e. Demokrasi membutuhkan pertimbangan moral
Demokrasi
yang dilakukan dengan lima nilai sebagaimana disebutkan yaitu menghargai
keberagaman, dilakukan dengan jujur dan menggunakan akal sehat, dilaksanakan
kerjasama antar warga Negara, didasari sikap dewasa dan pertimbangan moral,
maka dengan setiap keputusan dan tingkah laku akan efesian dan efektif serta
pencapaian tujuan masyarakat adil dan makmur akan lebih mudah tercapai.
Komitmen seseorang terhadap nilai-nilai demokrasi
diyakini sebagai salah satu faktor yang memiliki pengaruh kuat terhadap
toleransi politik. Sebuahh pemerintah bisa saja memiliki semua karakteristik
untuk dikategorisasikan sebagai demokrasi-kompetisi lewat pemilihan umum,
partisispasi politik yang inklusif, dan kebebasan-kebebasan politik. Menurut
Pennock (dalam Robinson, dkk., 1999) apabila masyarakat tudak menghargai dan
berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi, akan sulit bagi institusi-institusinya
untuk berfungsi dengan baik dan bertahan lama.
Metode
Variabel
Menurut
Bungin (2008) variabel adalah fenomena yang bervariasi dalam bentuk, kualitas,
kuantitas, mutu, standar dan sebagainya. Dari pengertian ini, maka variabel
adalah sebuah fenomena yang berubah-ubah. Adapun variabel-variabel yang yang
terdapat dalam penelitian iniadalah :
a. Variabel
bebas (X) :
X1 :
Kepercayaan TerhadapPolitik
X2 :
Kepuasan Demokrasi
b. Variabel terikat (Y) : Partisipasi Politik
Subjek
Subjek
dalam penelitian ini sebanyak 307 orang. Keseluruhan subjek merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri
sultan Syarif Kasim Riau, Universitas Riau dan Universitas Islam Riau.
Alat Ukur
Dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan metode survey
dengan menggunakan kuesioner tentang kepercayaan politik, kepuasan demokrasi
serta partisipasi politik nasional dan kampus.
Analisis Data
Menganalisis data merupakan
suatu langkah yang sangat kritis dalam
penelitian (Suryabrata, 2000). Untuk menganalisa data dalam
penelitian ini,
Penulis menggunakan metode
analisis statistik deskriptif dan regresi ganda. Analisis regresi ganda dilakukan
untuk mencari pengaruh dua variabel
prediktor atau lebih terhadap variabel kriteriumnya, atau untuk meramalkan dua
variabel prediktor atau lebih terhadap variabel kriteriumnya (Hartono,
2010).
Hasil
Analisis
Deskriptif
Analisis data
deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran lebih mendalam mengenai subjek
penelitian berdasarkan data yang diperoleh. Analisis deskriptif meliputi perbandingan
antara rerata (mean) pada tiap-tiap variabel penelitian.
Tabel 1
Perbandingan Rerata (Mean) Pada Tiap-tiap Vartiabel Penelitian
Variabel
|
Mean
|
SD
|
Partisipasi Politik
§ Partisipasi politik Nasional
§ Partisipasi politik kampus
|
4.679
3.81
5.54
|
2.767
3.202
2.992
|
Kepercayaan Politik
|
4.22
|
1.101
|
Kepuasan Demokrasi
|
2.02
|
0.669
|
Uji Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini menyatakan bahwa ada
hubungan antara kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi terhadap partisipasi
politik. Yang kemudian diuji dengan teknik analisis regresi ganda, berdasarkan
analisis tersebut diperoleh Rxy= 0.316, F= 16.820 dan p= 0.000.
Hasil tersebut menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kepercayaan
politik dan kepuasan demokrasi dengan partisipasi politik, maka hipotesis
diterima.
Hasil analisis juga menunjukkan harga konstanta 2.295 harga koefisien kepercayaan politik 1.403 p= 0.000 dan harga koefisien
kepuasan demokrasi sebesar 0.564, p= 0.265. berdasarkan hal tersebut hanya satu
koefisen yang signifikansi yaitu kepercayaan politik.
Diskusi
Dari pengujian hipotesis penelitian ini menujukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara antara kepercayaan politik dan
kepuasaan demokrasi atau dengan partisipasi politik dengan besar angka kofisien
korelasi Rxy= 0.316 dengan p=0.000.
Pada variabel bebas memberikan pengaruh kepada partisipasi
politk secara keseluruhan adalah 10.00% yang dapat ditafsirkan bahwa
kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi memiliki pengaruh kontribusi sebesar
10.00% terhadap partisipasi politik dan 90.00% lainnya dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain diluar variabel tersebut. Diantara faktor-faktor lain yang
diduga memberikan sumbangan pengaruh terhadap partisipasi politik ialah usia,
jenis kelamin, semester, dan keaktifan berorganisasi.
Hasil penelitian ini
juga memberikan penjelasan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara kepercayaan politik dengan partisipasi politik. Semakin positif
kepercayaan politik subjek, maka partisipasi politik akan semakin tinggi pula.
Hasil yang sama juga ditemukan pada kepuasaan demokrasi. Hal in sejalan dengan
pendapat Gamson (dalam Kim dkk., 2002) bahwa didalam kepercayaan politik
terdapat suatu keyakinaan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan kepentingan
individu atau publik serta dengan pendapat Robinson dkk. (1999), yaitu apabila
terdapat diskrepansi antara harapan-harapan masyrakat dan kenyataan yang ada,
kepercayaan politik akan rendah dan hal ini berpengaruh pada efektivitas,
kontinuitas dan moralitas sistem sosial.
Jika diuji secara
konstan, hasil berbeda ditemukan pada hubungan antara kepuasan demokrasi
terhadap partisipasi politik, dimana
kepuasan demokrasi tidak memiliki hubungan dalam meningkatkan partisipasi
politik
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur penelitian, edisi revisi V. Jakarta: Rineka Cipta
Budiarjo, Miriam. 1981. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Hartono.
2010. Statistik Untuk Penelitian.
Yogyakarta: Pustaka pelajar
Herbert Mc.Closky.
2010. International Encyclopedi of the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
http://partisipasipolitik.org, 18 Januari
2013
http://pemiluindonesia.org, 19 januari
2013
Kamaruddin.
2003. Partai
PoLitik
Islam
di Pentas Reformasi;
Refleksi
Pemilu 1999 untuk
Pemilu 2004. Jakarta: Visi
Publishing
Martono, Nanang. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Michael Rush, dan Philip
Althoff. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali Surbakti, Ramlan. 1990. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT.Grasindo
Samuel P.Huntington, dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi
Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta,
Sumadi,
Suryabrata. 2000. Metode Penelitian. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Sugiyono. 2005. Metodologi penelitian Administrasi. Bandung: Alfabet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar