Senin, 30 Desember 2013

Partisipasi Politik Mahasiswa Ditinjau Dari Kepercayaan Politik dan Kepuasan Demokrasi


Partisipasi Politik Mahasiswa Ditinjau Dari Kepercayaan Politik dan Kepuasan Demokrasi
Hasbi Wahyudi
Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan dari kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi terhadap tingkat partisipasi politik mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Universitas Riau dan Universitas Islam Riau. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 307 orang. Dalam mengumpulkan data menggunakan metode survey dengan kuesioner tentang kepercayaan politik, kepuasan demokrasi serta partisipasi politik nasional dan kampus. Dalam hasil analisis data diperoleh Rxy= 0.316, F= 16.820 dan p= 0.000. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima, bahwasanya ada hubungan yang positif antara kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi terhadap tingkat partisipasi politik mahasiswa. Artinya, semakin tinggi kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi, maka semakin tinggi tingkat  partisipasi politik mahasiswa, begitu juga sebaliknya jika semakin rendah kepecayaan politik dan kepuasan demokrasi, maka semakin rendah tingkat partisipasi politik mahasiswa.

Kata Kunci: Partisipasi Politik, Kepercayaan Politik, Kepuasan Demokrasi



Pendahuluan
Partisipasi  merupakan aspek penting dari demokrasi (Damsar, 2010). Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara, tetapi dalam kenyataan persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara ke negara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik.
Pada negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dinegara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya ditentukan oleh segolongan elit penguasa, maka partisipasi warganegara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupan  berbangsa dan  bernegara relatif sangat  rendah.  Sementara itu  dinegara  yang proses modernisasi politiknya telah berjalan baik, maka tingkat partisipasi politik warga negara cenderung meningkat.
Partisipasi  politik secara harfiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warganegara dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah  mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Pada Negara berkembang seperti Indonesia, saat ini penggunaan kata partisipasi politik lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan.
Menurut Sanit (1985) anggota masyarakat perlu mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan, dengan kata lain setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan semestinya terlibat dalam proses pembangunan terutama di bidang politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi melalui sistem politik yang terbangun.
Pemilihan umum 2009 merupakan pemilu ketiga setelah reformasi bergulir, dan berkembang banyak wacana seputar pelaksanaannya. Pembicaraan, perdebatan dan diskusi banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat yang mengupas masalah-masalah pemilu, partai politik, electoral threshold serta tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu yang semakin menurun, dimana partisipasi masyarakat pada Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama seusai reformasi bahkan mencapai angka 93%. Setelah itu, pada pemilu 2004 turun menjadi 84% dan pemilu tahun 2009 menurun lagi menjadi 71%. Hal ini dikarenakan semakin turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan anggapan masyarakat mengenai nilai-nilai demokrasi yang melahirkan berbagai konflik ditengah masyarakat (hasil survey Centre for strategic and International Studies (CSIS), 2012).  Selain hal itu, tidak ketinggalan juga partisipasi politik mahasiswa dalam kehidupan berbangsa yang dalam hal ini dimanifestasikan dalam lembaga- lembaga kemahasiswaan juga menjadi pembicaraan, perdebatan dan diskusi ditengah masyarakat.
Lembaga kemahasiswaan adalah wadah pelaksanaan kegiatan mahasiswa di kampus. Lembaga kemahasiswaan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam proses pendidikan di suatu perguruan tinggi. Keberadaan lembaga kemahasiswaan merupakan wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa kearah perluasan wawasan,   peningkatan kecendekiawan,   integritas kepribadian, menanamkan sikap ilmiah, dan pemahaman tentang arah profesi dan sekaligus meningkatkan kerjasama serta menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan.
Lebih dari itu, peran mahasiswa melalui lembaga kemahasiswaan tidak hanya terbatas dalam bidang akademik atau profesionalitas keilmuan saja. Mahasiswa melalui lembaga kemahasiswaan juga berperan sebagai agen perubahan sekaligus control social atas penyelenggaraan pemerintahan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, mahasiswa melalui lembaga kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus merupakan kekuatan politik tersendiri yang selalu diperhitungkan dalam sejarah kehidupan masyarakat bernegara.
Namun demikian, orientasi perjuangan dan dinamisasi kehidupan lembaga kemahasiswaan hendaknya tetap pada netralitas lembaga yang sangat menjunjung tinggi moralitas akademis. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat edaran Dirjen Dikti tahun 2002 bahwa system penyelenggaraan kegiatan kelembagaan mahasiswa tidak boleh menjadi perpanjangan tangan (underbow) dari kekuatan partai politik tertentu dan netral terhadap suku, ras, agama dan aliran kepercayaan.
Sadar atau tidak, fenomena tarik menarik kepentingan politik telah menjadi bagian dari kehidupan lembaga kemahasiswaan intra kampus saat ini. Dari   fenomena inilah perlu dikemukakan pertanyaan, bagaimana sesungguhnya partisipasi politik mahasiswa? Atas dasar fenomena inilah peneliti kemudian tertarik melihat Partisipasi Politik Mahasiswa Ditinjau Dari Kepercayaan Politik dan Kepuasan Demokrasi.
Tinjauan Teori
Politik secara etimologis berasal dari kata polis yang artinya negara kota.  Istilah politik itu sendiri dapat diartikan: (a) ilmu atau segala sesuatu siasat atau kebijakan yang menyangkut urusan kenegaraan, (b) kebijaksanaan, (c) siasat dan upaya atau perjuangan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan (Aka Kamarulzaman, 2005).
Menurut Miriam Budiarjo (2008) politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu system (sosial) yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan.
Partisipasi Politik
 Konseptualisasi Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan masalah yang cukup rumit di negara berkembang. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut  dan  mempengaruhi  kehidupan  warga  masyarakat,  maka  warga  masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Para ilmuwan dan pakar politik telah banyak memberi batasan lebih mengenai partisipasi politik. Menurut Huntington dan Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah (Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1994). Dalam konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington dan Nelson, disebabkan oleh sejumlah alasan. Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis,   artinya   bahwa   partisipasi   politik   yang   bersifat   dimobilisasi   karena   faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom (Kamaruddin, Partai PoLitik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004, 2003). Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan tekanan terhadap pimpinan-pimpinan politik.
Di samping konseptualisasi dari partisipasi politik di atas, Lane (dalam Rush dan Althoff, 2000) menyatakan bahwa Partisipasi politik juga memiliki empat fungsi, yaitu:
1.      Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis,
2.      Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial,
3.      Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus,
4.      Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan bawah sadar dan psikologis tertentu.
Samuel P Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
1. Kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencaridana  partai,  menjadi  tim  sukses,  mencari  dukungan  bagi  calon  legislatif  atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu.
2. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.
3.  Kegiatan  organisasi,  yaitu  partsipasi  individu  ke  dalam  organisasi,  baik  selaku anggota  maupun  pemimpinnya,  guna  mempengaruhi pengambilan  keputusan  oleh pemerintah.
4.  Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka.
5.   Tindakan  kekerasan  (violence),   yaitu  tindakan  individu  atau  kelompok untuk mempengauhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk disini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembunuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson di atas, telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Oleh sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik masuk ke dalam kajian ini.  Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap.
Tipologi Partisipasi Politik
Surbakti mengkategorikan kegiatan partisipasi politik dengan sejumlah kriteria rambu-rambu yang menjadi konseptualisasi dari partisipasi politik itu sendiri. Pertama, partisipasi  politik  yang  dimaksudkan  berupa  kegiatan  atau  perilaku  luar  individu  warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi individu tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan ini diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksanaan keputusan politik (Ramlan, 1990).
Partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang termasuk dalam kategori partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan yang menaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.
Dengan kata lain, partisipasi aktif berarti kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output politik, sedangkan partisipasi pasif merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses output. Di samping itu, terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori partisipasi aktif maupun partisipasi pasif karena mereka menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut dengan apatis atau golongan putih.
Menurut Olsen (dalam Ramlan, 1990) partisipasi dapat dipandang sebagai dimensi utama stratifikasi sosial. Olsen membagi partisipasi politik menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivis politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik lainnya kepada orang lain), warga negara, marginal (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan sistem politik), dan orang yang terisolasikan (orang yang jarang melakukan partisipasi politik).
Perspektif lainnya, Roth dan Wilson (Budiarjo, 1981) menguraikan bentuk partisipasi politik warga negara berdasarkan intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas partisipasi tertinggi sebagai aktivis.
Bila dijenjangkan, intensitas kegiatan politik warga negara tersebut membentuk segitiga serupa dengan warga negara. Karena seperti piramida, bagian mayoritas partispasi politik warga negara terletak di bawah. Ini berarti intensitas partisipasi politik warga negara kebanyakan berada pada jenjang pengamat. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya melakukan kegiatan politik seperti: menghadiri rapat umum, menjadi anggota partai atau kelompok  kepentingan,  membicarakan  masalah  politik  mengikuti  perkembangan politik melalui media massa, dan memberikan suara dalam pemilu.
Setingkat  lebih  maju  dari  kelompok  pengamat  yang  terletak  di  tengah-tengah piramida partisipasi politik ialah kelompok partisipan. Pada jenjang partisipan ini aktivitas partisipasi politik yang sering dilakukan adalah menjadi petugas kampanye, menjadi anggota aktif dari partai atau kelompok kepentingan, dan aktif dalam proyek-proyek sosial. Kelompok terakhir yang terletak di bagian paling atas dari piramida partisipasi politik adalah kelompok aktivis. Warga yang termasuk dalam kategori aktivis sedikit jumlahnya. Kegiatan politik pada jenjang aktivis ini adalah seperti menjadi pejabat partai sepenuh waktu, pemimpin partai atau kelompok kepentingan. Di samping itu, ada juga warga yang tidak termasuk dalam piramida ini, mereka adalah kelompok warga yang sama sekali tidak terlibat dan tidak melakukan kegiatan politik. Mereka ini oleh Roth dan Wilson disebut sebagai orang yang apolitis.
Kepercayaan Politik
Kepercayaan politik menyangkut pandangan orang mengenai hal-hal yang dihasilkan oleh sebuah sistem seperti politisi, sistem politik dan institusi-institusi. Dengan kata lain, kepercayaan politik tidak hanya berhenti pada rasa percaya terhadap pemerintah, namun juga terhadap elemen-elemen yang melekat padanya.
            Gamson (dalam Kim dkk., 2002) menjelaskan bahwa didalam kepercayaan politik terdapat suatu keyakinan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan kepentingan individu atau publik. Menurut Pennock (dalam Robinson, dkk., 1999), apabila terdapat diskrepansi antara harapan-harapan masyarakat dan kenyataan yang ada, kepercayaan politik akan rendah dan hal ini berpengaruh pada efektivitas, kontinuitas dan moralitas sistem sosial.
Komitmen terhadap Nilai-nilai Demokrasi
Kehidupan demokrasi tidak akan datang, melainkan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, harus ada keyakinan yang luas dimasyarakat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan dengan sistem lain. Untuk menumbuhkan keyakinan dalam demokrasi, maka harus ada pola perilaku yang terjadi tuntunan atau nilai – nilai demokrasi yang diyakini masyarakat. Nilai – nilai dari demokrasi membutuhkan hal-hal sebagai berikut:
a.       Kesadaran akan pluralisme
b.      Sikap jujur dan pikiran yang sehat
c.       Demokrasi membutuhkan kerjasama antar warga masyarakat
d.      Demokrasi membutuhkan sikap kedewasaan
e.       Demokrasi membutuhkan pertimbangan moral
Demokrasi yang dilakukan dengan lima nilai sebagaimana disebutkan yaitu menghargai keberagaman, dilakukan dengan jujur dan menggunakan akal sehat, dilaksanakan kerjasama antar warga Negara, didasari sikap dewasa dan pertimbangan moral, maka dengan setiap keputusan dan tingkah laku akan efesian dan efektif serta pencapaian tujuan masyarakat adil dan makmur akan lebih mudah tercapai.
            Komitmen seseorang terhadap nilai-nilai demokrasi diyakini sebagai salah satu faktor yang memiliki pengaruh kuat terhadap toleransi politik. Sebuahh pemerintah bisa saja memiliki semua karakteristik untuk dikategorisasikan sebagai demokrasi-kompetisi lewat pemilihan umum, partisispasi politik yang inklusif, dan kebebasan-kebebasan politik. Menurut Pennock (dalam Robinson, dkk., 1999) apabila masyarakat tudak menghargai dan berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi, akan sulit bagi institusi-institusinya untuk berfungsi dengan baik dan bertahan lama.
Metode
Variabel
Menurut Bungin (2008) variabel adalah fenomena yang bervariasi dalam bentuk, kualitas, kuantitas, mutu, standar dan sebagainya. Dari pengertian ini, maka variabel adalah sebuah fenomena yang berubah-ubah. Adapun variabel-variabel yang yang terdapat dalam penelitian iniadalah :
a.       Variabel bebas (X)      :
X1 :  Kepercayaan TerhadapPolitik
X2 :  Kepuasan Demokrasi
b.      Variabel terikat (Y)     : Partisipasi Politik
Subjek
            Subjek dalam penelitian ini sebanyak 307 orang. Keseluruhan subjek merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri sultan Syarif Kasim Riau, Universitas Riau dan Universitas Islam Riau.
Alat Ukur
Dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan metode survey dengan menggunakan kuesioner tentang kepercayaan politik, kepuasan demokrasi serta partisipasi politik nasional dan kampus.
Analisis Data
            Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian (Suryabrata, 2000). Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode analisis statistik deskriptif dan regresi ganda. Analisis regresi ganda dilakukan untuk mencari pengaruh dua variabel prediktor atau lebih terhadap variabel kriteriumnya, atau untuk meramalkan dua variabel prediktor atau lebih terhadap variabel kriteriumnya (Hartono, 2010).
Hasil
Analisis Deskriptif
Analisis data deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran lebih mendalam mengenai subjek penelitian berdasarkan data yang diperoleh. Analisis deskriptif meliputi perbandingan antara rerata (mean) pada tiap-tiap variabel penelitian.
Tabel 1 Perbandingan Rerata (Mean) Pada Tiap-tiap Vartiabel Penelitian
Variabel
Mean
SD
Partisipasi Politik
§  Partisipasi politik Nasional
§  Partisipasi politik kampus
4.679
3.81

5.54
2.767
3.202

2.992
Kepercayaan Politik
4.22
1.101
Kepuasan Demokrasi
2.02
0.669
Uji Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan antara kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi terhadap partisipasi politik. Yang kemudian diuji dengan teknik analisis regresi ganda, berdasarkan analisis tersebut diperoleh Rxy= 0.316, F= 16.820 dan p= 0.000. Hasil tersebut menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi dengan partisipasi politik, maka hipotesis diterima.
Hasil analisis juga menunjukkan harga konstanta 2.295 harga koefisien kepercayaan politik 1.403 p= 0.000 dan harga koefisien kepuasan demokrasi sebesar 0.564, p= 0.265. berdasarkan hal tersebut hanya satu koefisen yang signifikansi yaitu kepercayaan politik.
Diskusi
Dari pengujian hipotesis penelitian ini menujukan bahwa terdapat  hubungan yang signifikan antara antara kepercayaan politik dan kepuasaan demokrasi atau dengan partisipasi politik dengan besar angka kofisien korelasi Rxy= 0.316 dengan p=0.000.
Pada variabel bebas memberikan pengaruh kepada partisipasi politk secara keseluruhan adalah 10.00% yang dapat ditafsirkan bahwa kepercayaan politik dan kepuasan demokrasi memiliki pengaruh kontribusi sebesar 10.00% terhadap partisipasi politik dan 90.00% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar variabel tersebut. Diantara faktor-faktor lain yang diduga memberikan sumbangan pengaruh terhadap partisipasi politik ialah usia, jenis kelamin, semester, dan keaktifan berorganisasi.
Hasil penelitian ini juga memberikan penjelasan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepercayaan politik dengan partisipasi politik. Semakin positif kepercayaan politik subjek, maka partisipasi politik akan semakin tinggi pula. Hasil yang sama juga ditemukan pada kepuasaan demokrasi. Hal in sejalan dengan pendapat Gamson (dalam Kim dkk., 2002) bahwa didalam kepercayaan politik terdapat suatu keyakinaan bahwa pemerintah bertindak sesuai dengan kepentingan individu atau publik serta dengan pendapat Robinson dkk. (1999), yaitu apabila terdapat diskrepansi antara harapan-harapan masyrakat dan kenyataan yang ada, kepercayaan politik akan rendah dan hal ini berpengaruh pada efektivitas, kontinuitas dan moralitas sistem sosial. 
Jika diuji secara konstan, hasil berbeda ditemukan pada hubungan antara kepuasan demokrasi terhadap  partisipasi politik, dimana kepuasan demokrasi tidak memiliki hubungan dalam meningkatkan partisipasi politik
Daftar Pustaka
Arikunto,  Suharsimi. 2002. Prosedur penelitian, edisi revisi V. Jakarta: Rineka Cipta
Budiarjo, Miriam. 1981. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hartono. 2010. Statistik Untuk Penelitian. Yogyakarta:  Pustaka pelajar
Herbert Mc.Closky. 2010. International Encyclopedi of  the Social Sciences, dalam Damsar, Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
http://pemiluindonesia.org, 19 januari 2013
Kamaruddin. 2003. Partai PoLitik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004. Jakarta: Visi Publishing
Martono, Nanang. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Michael Rush, dan Philip Althoff. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali Surbakti, Ramlan. 1990. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT.Grasindo
Samuel P.Huntington, dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta,
Sumadi, Suryabrata. 2000. Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sugiyono.  2005. Metodologi penelitian Administrasi. Bandung: Alfabet



Tidak ada komentar:

Posting Komentar